Manusia adalah bagian dari realitas kosmos yang menurut para ahli pikir disebut sebagai al-kain an-natiq, 'makhluk yang berbicara' dan 'makhluk yang memiliki nilai luhur'.
Al-‘Aqqad dalam Al-Insan fi al-Qur’an (1973:21) menjelaskan, bahwa manusia lebih tepat dijuluki 'makhluk yang berbicara' daripada 'malaikat yang turun ke bumi' atau 'binatang yang berevolusi', sebab manusia lebih mulia ketimbang semua itu.
Alasan ‘Aqqad ini tidaklah berlebihan, sebab menurutnya, 'malaikat yang turun ke bumi' tidak mempunyai kedudukan sebagai pembimbing ke jalan yang baik maupun yang buruk, demikian pula 'binatang yang berevolusi'. Hanya manusialah yang mampu memikul beban dan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Allah kepadanya.
Oleh sebab itu, tidak heran pula jika ada yang mengatakan, bahwa manusia adalah 'pencipta kedua' setelah Tuhan. Hal ini dapat kita pahami, betapa manusia yang dianugerahi AKAL oleh Tuhan itu mampu menciptakan kreasi canggih berupa sains dan teknologi, sementara malaikat diperintah sujud kepadanya karena tak mampu bersaing secara intelektual.
Kelebihan intelektual inilah yang menjadikan manusia lebih unggul daripada makhluk lainya, namun terkadang kita menjadi kebablasan ketika memaksa Tuhan memenuhi semua permintaan kita. Tidaklah salah membuat susunan outcome yang detail dan terstruktur, namun ketika cara-cara pengabulan outcome tadi juga kita paksakan, maka akan terjebak ke dalam konteks playing god.
Manusia juga sangat meungkin menjadi dekaden, bahkan bisa lebih rendah nilainya dari binatang jika melakukan tindakan yang destruktif, mengedepankan nafsu dan melepaskan imannya. Di sinilah manusia tak ubahnya hewan mamalia, alias playing dog
---
Pada awal tulisan ini, saya mengutip satu pendapat bahwa manusia adalah bagian dari sebuah 'realitas' kosmos. Kosmos dalam pengertian yang paling umum adalah suatu sistem dalam alam semesta yang teratur atau harmonis.
Ada makrokosmos yang berarti keteraturan alam semesta, dan mikrokosmos yang berupa keteraturan atau harmonisasi sebuah entitas, salah satunya adalah manusia.
Menurut Om Popa (@ikhwan_sopa), setiap manusia sebenarnya berada di dalam sebuah bola kesadaran virtual yang hanya berisi realitas dirinya sendiri. Tidak boleh ada realitas lain, selain realitas dirinya sendiri. Realitas orang lain termasuk anak, istri, suami, bahkan orangtua hanyalah tamu yang terpental ke dalam dan memantul nempel pada lingkarannya. Realitas tamu ini termanifestasi dari fakta-fakta yang berada di luar bola virtual tersebut, setelah berhasil menembus pertahanan lingkaran filternya.
Sebelum kita lanjutkan pembahasan mengenai bola kesadaran ini, alangkah baiknya jika kita kupas dulu makna dari realitas itu sendiri.
Reality= consciousness + awareness
Dalam bahasa Indonesia consciousness & awareness memiliki terjemahan yang sama, yaitu kesadaran. Namun jika mau dicermati lebih dalam lagi sesuai dengan pengalaman yang kita rasakan, terdapat perbedaan mendasar antara kedua kata tersebut.
Consciousness adalah kesadaran inderawi atau kesadaran berbasis panca indera. Artinya, kita menyadari bahwa di depan kita terdapat sebuah laptop yang terletak di atas meja adalah hasil dari pantulan gambar laptop dan meja tersebut melalui mata kita (visual). Bahkan merdunya suara yang dihasilkan oleh pemutar lagu yang ada di dalam laptop tersebut juga hasil pantulan suara yang diterima oleh telinga kita (auditori). Demikian juga panas atau dinginnya ruangan yang sedang kita tempati sekarang adalah hasil dari penginderaan oleh kulit kita (kinestetik)
Sementara awareness adalah kesadaran maknawi (kesadaran bahwa sesuatu itu exist/ada atau sesuatu yang saya percaya itu ada). Awareness ini bukan sekedar kesadaran akan makhluk ghoib atau ketuhanan, namun lebih luas lagi dari itu. Misal, saya tidak bisa melihat sebuah meja yang ada di belakang saya, karena terbatasnya ruang lingkup pandangan saya, namun saya sangat yakin bahwa meja itu ada di sana, karena saya yang menata ruang tersebut. Itu adalah awareness.
Setiap fakta luar yang masuk ke dalam lingkaran dan dimaknai secara negatif akan mengotori filter sehingga lambat laun lingkaran kesadaran kita akan mengeruh. Om Popa menyebutnya sebagai (maaf) kentut. Lalu, apakah sebagai manusia kita tidak boleh kentut? Tentu saja boleh, namun pastikan bahwa kentut tersebut valid. Maksudnya?
Cek n ricek dulu bahwa reality yang kita terima memang mencerminkan kesadaran maknawi dan inderawi yang benar. Bukan asumtif atau perseptif.
Misal:
Kita mengeluh karena anak kita yang nakal, bandel atau bangor. Keluhan ini akan menjadi kentut, ketika kita tidak melakukan klarifikasi secara maknawi dan inderawi akan perilaku anak tersebut. Bisa saja kata nakal, bandel dan atau bangor ini hanya sebuah label secara generalisasi sahaja atas perilaku anak yang tidak sesuai dengan kehendak kita?
Contoh sederhana, ortu ingin anak jadi dokter, namun dia memilih menjadi youtuber. Semakin sering ortu semacam ini mengeluhkan 'kenakalan' anaknya, akan semakin keruh bola kesadarannya.
Maka klarifikasi 'nakal' di sini mesti berbasis norma hukum, agama, dan budaya yang berlaku. Misal, dengan mata kepala sendiri (inderawi) ortu menyaksikan perilaku anak yang melanggar norma hukum dan agama. Mencuri uang ortu, contohnya. Atau ortu mendapat laporan dari sekolah tentang anaknya yang membolos atau berantem (maknawi). Pertanyaannya adalah, jika memang hal tersebut terjadi, apakah sebagai ortu kita tidak boleh 'kentut'?
Karena kentut adalah sesuatu yang manusiawi, dan kita sedang belajar menjadi manusia, tentu saja boleh.
Tunggu dulu, manusia adalah 'makhluk yang berbicara' dan 'makhluk yang memiliki nilai luhur', maka kentutnya pun kudu valid, dengan cara menyadari dan menerima keadaan tersebut sebagai sebuah musibah, untuk kemudian segera mengembalikan semua hal negatif tadi ke haribaan Sang Pencipta dengan mengucap kalimat istirja'. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.
Dengan cara ini maka filter bola kesadaran kita sebagai manusia akan senantiasa jernih. Bonusnya adalah realitas yang juga selalu clear. Endingnya adalah hidup berdaya dan bahagia.
Bagaimana jika filter tersebut sudah terlalu buram karena terlalu banyak 'kentut' yang mengisi bola kesadaran kita? Yang jelas pasti kita akan mengalami sesak nafas berkepanjangan. Maka kita perlu melakukan self cleansing, karena tidak ada jasa sedot WC yang mampu melakukannya, kecuali kita sendiri.
Caranya adalah dengan berdamai dengan diri sendiri. Dan lagi-lagi dibutuhkan sebuah disrupsi kehidupan untuk mampu melakukan hal keren ini. Apa disrupsinya?
Tunggu saja kelanjutannya ya gaess...!
Tabik
-haridewa-
www.thecafetherapy.com
#lifedisruption
#directivecoaching