’Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...’ ( QS Ar-Ra’du:11)
Sahabatku yang berbahagia, meski sudah berulang kali bertemu dengan ayat di atas, namun membacanya sekali lagi pada pagi pertama di tahun 2022 ini, saya merasakan sensasi yang berbeda.
Seperti biasanya, setiap awal tahun, saya selalu melakukan muhasabah diri tentang hal-hal yang sudah saya lakukan selama setahun silam.
Salah satu guru saya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita dalam kehidupan sehari-hari secara praktis bisa dibagi menjadi dua kelompok besar:
1. Manusia Dipaksa
Dalam hal ini semua kejadian yang menimpa manusia memang benar-benar dipaksakan harus terjadi kepadanya. Kita tidak mampu mengontrolnya. Tidak ada pilihan lagi yang bisa diambil olehnya.
Dalam konteks ini, sebenarnya kejadiannya masih bisa dikelompokkan menjadi dua lagi:
a. Berhubungan dengan hukum alam
Kejadian seperti kelahiran kita, siapa orang tua kita, mejadi laki-laki atau perempuan, bahkan kapan kita mati sudah tertulis dengan jelas pada skenario Allah. Tidak ada daya dan upaya lagi yang bisa kita lakukan untuk mengubah sunatullah ini.
b. Tidak berhubungan dengan hukum alam
Kejadian seperti kecelakaan pesawat, mobil, kapal, musibah bencana alam seperti gunung meletus, banjir dll merupakan kejadian lain yang juga tidak bisa kita hindarkan, karena sudah dipilihkan oleh-Nya.
Bisa dikatakan karena kita sudah tidak mempunyai pilihan lagi untuk kejadian-kejadian di atas, maka kita dibebaskan dari tanggung jawab atas hasil yang diakibatkannya.
2. Manusia Bebas Berbuat
Hidup ini penuh pilihan. Meskipun Allah sudah menentukan takdir masing-masing manusia, namun saya sangat meyakini bahwa takdir Allah itu bukanlah sebuah garis linear yang hanya menuju satu kondisi tertentu. Allah telah menciptakan kita sebagai sebaik-baiknya ciptaan, maka tentu dilengkapi dengan hak sukses dan bahagia.
Langkah-langkah kitalah yang akan menentukan garis akhir seperti apa yang akan kita dapatkan. Kita dapat melakukan kontrol sepenuhnya atas nasib kita sendiri.
Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa Allah telah menuliskan takdir kita di lauhul mahfudz, namun pertanyaannya adalah tidak ada seorang pun yang tahu apa yang telah ditulis Allah tadi. Berbekal pada asumsi inilah, maka tugas kitalah untuk memperjuangkan setiap sendi kehidupan kita sehingga kita benar-benar akan menjadi sebaik-baiknya ciptaan Allah. Sebuah masterpiece.
Karena nasib kita tidaklah akan pernah berubah kalau kita tidak merasa bertanggung jawab untuk memperbaikinya.
Dalam konteks ini, karena kita sudah diberi pilihan untuk menentukan nasib kita sendiri, tentunya ada konsekuensi yang akan kita terima atas pilihan kita tadi. Konsekuensi tadi bisa berupa kebahagiaan hidup karena kita telah memilih jalan yang tepat, baik dan benar untuk kita, atau sebaliknya kita justru hanya mendapatkan kesengsaraan karena telah salah memilih langkah.
'Kata Punya Nyawa!'
Secara sadar ataupun tidak, setiap hari pikiran kita mengalami sebuah proses pemaknaan tanpa henti. Dan bahan baku utama dari proses ini adalah susunan huruf yang kita kenal sebagai KATA.
Semua benda abstrak dan benda kongkrit yang ada di alam semesta ini dilambangkan oleh kata-kata. Pikiran manusia tidak akan mampu mengenali dunia realitas tanpa disimbolkan terlebih dulu dalam bentuk kata.
Penemuan huruf, mesin cetak dan revolusi industri di Eropa ditambah logika gramatikal bahasa dalam penyusunan kata-kata menjadi kalimat logis, merupakan tonggak peradaban manusia di muka bumi.
Bayangkan alam semesta dan seisinya dapat diringkas atau dapat disederhanakan menjadi simbol-simbol tertentu yang kemudian dikenal sebagai huruf. Kembali ke statemen di atas, susunan huruf-huruf inilah yang mampu dimaknai oleh pikiran kita.
Dan ketika sebuah kata diucapkan dengan emosi yang intens, apalagi secara berulang, secara ajaib kata tersebut kemudian memiliki energi besar untuk menggerakkan manusia, seolah dia memiliki nyawa.
Label, cap, stempel, julukan, judul, alias, dan masih ada beberapa terminologi lagi yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menyebut ‘istilah kata punya nyawa’ ini, baik secara sadar maupun tak sadar.
Pembaca yang budiman, dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar orang memaki, menyumpah, atau meneriaki orang lain dengan kata-kata kasar. Mungkin kita yang menjadi objek teriakan atau bahkan kitalah sang pelaku peneriak itu sendiri.
Coba kita ingat, mungkin kita pernah meledek orang di sekitar kita dengan kata-kata negatif, menyebut anak kita sebagai anak nakal, pemalas atau kata-kata negatif lainnya. Sebagai atasan, pernahkan Anda menyebut bawahan Anda karyawan lelet, hanya karena dia pernah sekali datang terlambat?
Sebagai suami, pernahkah Anda menyebut istri Anda keras kepala, hanya karena dia berbeda pendapat dengan Anda? Sebagai istri, pernahkah Anda mengatai suami Anda setan, hanya karena dia lupa ulang tahun Anda?
Sadarkah Anda, bahwa ketika Anda melakukan hal tersebut, artinya Anda sedang menempelkan label kepada orang yang dekat Anda tersebut. Saya yakin, Anda tidak akan melakukan hal tersebut, bila Anda ingat bahwa sebuah kata ternyata memiliki nyawa yang mampu menggerakkan seseorang, bahkan ketika label tersebut sudah tidak diucapkan lagi.
'Repetisi Menjadi Habit'
Efek pelabelan ini akan menjadi sangat luar biasa dan permanen ketika dilakukan secara berulang1. Seorang anak yang selalu dikatakan ‘bodoh’ atau ‘goblok’ oleh orang di sekitarnya akhirnya akan percaya bahwa dirinya benar-benar bodoh. Ia menjadi bodoh bukan karena tidak mempunyai kapasitas untuk pintar, tapi lebih karena didikte oleh program ‘bodoh’ yang telah ter-install di pikirannya.
Parahnya, meski labelnya telah dilepas, program yang telah ter-install ke pikiran orang yang kita label akan terus menempel meski kita sudah tidak melabelnya lagi.
Ya, pelabelan telah mengubah identitas seseorang. Transformasi psikologis terjadi sebagai sebuah sunatullah karena kecerobohan kita dalam berkomunikasi.
Beberapa ilustrasi lain di bawah ini mungkin bisa menambah keyakinan kita mengenai bahayanya sebuah pelabelan.
Pada suatu hari Anda bertamu ke rumah seorang teman Anda. Di sana Anda dijamu dengan segelas air yang diambil langsung dari sebuah dispenser. Tentunya di terik matahari yang memanggang, Anda akan langsung minum segelas air tadi dengan lahap.
Minggu selanjutnya, Anda bertandang lagi ke rumah teman Anda tadi. Seperti minggu sebelumnya, teman Anda tadi menjamu Anda dengan segelas air juga, dan diambil langsung dari dispenser yang sama dengan minggu sebelumnya.
Namun tunggu sebentar, ternyata pada gelas itu ada tulisan ‘racun’. Apakah Anda akan meminum air tadi dengan lahap juga?
Tidak?
Kenapa?
Padahal teman Anda sama, dispenser tempat mengambil air juga sama.
Saya yakin Anda tahu jawabannya!
Pada kesempatan lain, teman Anda menyuguhkan sekotak biskuit kesukaan Anda. Tentunya, selain untuk menghormati tuan rumah, karena itu adalah biskuit kesukaan Anda, maka dengan semangat Anda akan menyantap biskuit tadi bukan?
Ketika kotak pertama habis, tuan rumah mengeluarkan stok kotak biskuitnya dari lemari pendingin. Sekotak biskuit yang sama persis dengan yang sudah Anda habiskan tadi.
Namun tunggu dulu, ternyata setelah Anda cermati, pada kotak kedua terdapat tulisan mengandung ‘formalin’.
Apakah Anda akan menyantap biskuit kesukaan Anda tadi?
Tidak juga?
Kenapa?
Teman Anda sama. Kotak biskuitnya juga sama.
Saya yakin, Anda juga tahu alasannya!
Sebuah pelabelan akan membentuk identitas baru pada diri seseorang. Kadang pelabelan itu diberikan oleh orang di sekitar kita, atau seringkali justru kita sendiri yang tanpa sadar melabel diri kita secara keliru.
Setiap manusia dilahirkan dengan berbekal lebih kurang satu trilyun sel otak. Maka tentunya setiap orang berhak untuk hidup sukses. Dan ternyata yang membedakan orang sukses dan orang gagal terutama pada pondasi keyakinan dirinya.
Ketika masa kanak kita banyak disalahkan, maka kita juga akan belajar untuk mengkritik dan mengutuk segala sesuatu.
Jika banyak dimusuhi, kita akan belajar untuk berseteru.
Jika banyak dicemooh dan diejek, kita akan menjadi orang yang pemalu dan selalu merasa bersalah.
Jika banyak mengalami ketakutan, kita akan menjadi pencemas dan selalu khawatir dengan kehidupan kita.
Sebaliknya, ketika banyak dipuji, kita akan belajar untuk menghormati dan menghargai.
Jika diterima apa adanya, kita akan belajar mengasihi dan mengerti orang lain.
Jika selalu didukung untuk melakukan sesuatu, kita akan belajar untuk menyukai diri kita yang akhirnya akan mengembangkan rasa percaya diri dan harga diri kita.
Ketika banyak mendapat pengakuan dalam hidup, kita akan belajar menetapkan sasaran dan bertanggung jawab terhadap hidup.
Jika dibiasakan berbagi dan diperlakukan dengan jujur, kita juga belajar bermurah hati dan bersikap jujur terhadap segala sesuatu.
Sahabatku yang berbahagia, selama setahun belakangan ini, manakah hal yang paling banyak Anda lakukan, baik terhadap diri sendiri maupun orang di sekitar Anda?
Kembali ke judul tulisan ini, hidup penuh dengan pilihan. Mengawali tahun baru ini, pilihan manakah yang akan Anda ambil?
Saya memilih untuk bahagia, berdaya serta memberdayakan orang di sekitar saya. Bagaimana dengan Anda?
Tabik
-haridewa-
Happy Counselor