Beberapa waktu yang lalu saya mendapat pesan whatsapp dari salah satu kawan yang sudah belajar hipnosis. Intinya adalah mengenai kondisi klien yang terkesan jadi agak nge-blank setelah di-'terapi' mengenai phobia pisangnya. Memang ketakutan terhadap pisang sudah hilang, namun seolah ada hal yang kurang 'pas' pada klien ini.
Ketika saya konfirmasikan mengenai teknik yang digunakan, menurut kawan saya tadi didapatkannya dari sebuah pertunjukan hipnosis melalui TV!
Sahabat pembelajar yang berbahagia, mungkin ada beberapa di antara Anda yang juga pernah mengalami kejadian serupa? Dan Anda juga bingung dengan fenomena ini. Yang di TV itu semuanya terlihat mudah, sederhana dan cepat saja. Tapi yang kita alami kok berbeda ya? Padahal tokoh yang di TV itu menggunakan hipnosis, sementara Anda merasa juga telah menggunakan ilmu yang sama! Lalu di mana letak kesalahannya?
Maaf, tanpa ingin menggurui Anda semua, ijinkan saya menekankan sekali lagi bahwa hipnosis panggung dan hipnoterapi itu merupakan dua ranah keilmuan yang berbeda! Mirip namun tak sama! Memang betul, keduanya menggunakan prinsip kerja pikiran bawah sadar, namun dalam prakteknya ada beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan:
1. Goal Klien vs Goal Terapis
Dalam agama saya ada sebuah hadits shahih berkenaan dengan niat, yaitu 'Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang diniatkan.'
Yang saya maksud dengan niat ini sebenarnya lebih ke goal yang ingin diinisiasi dari sebuah tindakan.
Dan goal yang saya maksud haruslah goal dari kedua belah pihak, baik terapis maupun klien, dan goal mereka mesti 'interlinked each other'(saling terkait). Ketika goal seorang klien adalah ingin terbebas dari sebuah fobia, maka goal terapis adalah melakukan usaha terstruktur sehingga klien terbebas dari fobia (bukan sekedar mendapatkan uang, atau sekedar hiburan). Dari pengalaman saya, goal yang tidak selaras antara klien dan terapis juga bisa memunculkan hasil terapi yang tidak sesuai dengan harapan.
Dalam pembelajaran dan praktek hipnosis panggung hal semacam ini tidak pernah dibahas, apalagi dipentingkan. Kalaupun ada yang merancang niat atau goal, biasanya hanyalah sang hipnotisnya, dan demi hiburan semata!
Sebagai hipnoterapis, inisiasilah terlebih dahulu goal Anda dan goal klien Anda agar sejalan. Goal initiation seperti ini biasanya dilakukan dalam sesi 'pre-induction talk.'
2. Suyet vs Klien
'All hypnosis is self hypnosis!'
Sebagai praktisi pemberdayaan pikiran bawah sadar, tentunya Anda sudah sangat mengenal quote yang disampaikan oleh Dave Elman tersebut. Maka semenjak era Elman tersebut para praktisi hipnosis mulai memperhatikan bahwa pihak yang mengontrol proses hipnosis adalah pihak yang dihipnosis.
Bahkan jauh sebelum era Elman, tokoh yang dianggap sebagai pioner hipnosis yaitu Frans Anton Mesmer pun secara inplisit sudah mengakui fakta ini. Dari mana saya bisa menyimpulkan hal ini? Dari penyebutan pihak yang dihipnotis, yaitu suyet. Asal katanya adalah 'sujet', yang dalam bahasa Jerman dan Prancis memiliki arti yang serupa, yaitu subyek. Secara tidak sadar sebenarnya Mesmer sudah menyatakan bahwa pasien-pasiennya merupakan subyek dalam ranah terapi menggunakan ilmu magnetismenya.
Meskipun kita mahfum bahwa subyek merupakan seseorang yang melakukan sebuah aktifitas, namun entah kenapa secara bawah sadar ketika kita melakukan sebuah aksi hipnosis panggung, kita merasa para suyet adalah pihak yang bisa dimainkan sesuai dengan kemauan sang hipnotis! Ya, atau iya?
Dan lagi-lagi sebagai praktisi pemberdayaan pikiran bawah sadar, Anda pasti juga sangat paham bahwa kata punya nyawa. Kata yang tepat diucapkan dengan tepat oleh orang yang tepat akan menghasilkan perilaku yang tepat. Begitu juga sebaliknya, kata yang kurang tepat ketika diucapkan meski oleh orang yang tepat akan menghasilkan perilkau kurang tepat.
Dalam ranah hipnosis kita akan cenderung menganggap hipnotee (pihak yang dihipnosis) sebagai suyet, sementara dalam ranah hipnoterapi, kita akan menyebut hipnotee sebagai client (klien). Menurut KBBI, definisi klien adalah orang yang membeli sesuatu atau memperoleh layanan (seperti kesehatan, konsultasi jiwa) secara tetap. Artinya seorang klien memiliki hak untuk mendapatkan layanan secara tetap (bisa diartikan kontinyu atau permanen).
Maka sebagai hipnoterapis, mulai sekarang anggaplah orang yang datang kepada Anda untuk mendapatkan layanan terapi sebagai klien, bukan sekedar suyet.
3. Kerjasama vs Kerja Bersama
Banyaknya mitos miring mengenai hipnosis membuat persepsi orang yang ingin menekuni profesi mulai ini juga terdistorsi. Berikut adalah contoh mitos tersebut.
'Hipnosis memunculkan keajaiban'
Hipnosis tidak memunculkan keajaiban. Hipnosis adalah pembelajaran. Setiap fenomena hipnosis adalah respons yang muncul karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut.
'Hipnosis berarti ketidaksadaran'
Ini kesalahan fatal. Hipnosis memerlukan kemampuan untuk mendengar, melihat, berpikir, memahami, dan merasakan segala sesuatu dalam cara tertentu, tetapi itu tidak memerlukan ketidaksadaran. Subjek hipnotik (klien) adalah makhluk responsif dan operator hipnosis (terapis) juga makhluk responsif. Tidak diperlukan ketidaksadaran.
'Hipnosis mensyaratkan kepasrahan total'
Tak ada kepasrahan total. Hipnosis adalah upaya dua orang, dengan kerjasama antara klien dan terapis. Anda tidak bisa pasrah bulat-bulat kepada orang yang Anda izinkan mengemudikan mobil Anda. Namun ada kerjasama di sana dan Anda mengizinkan orang itu mengemudikan mobil Anda. Ini adalah urusan pembagian tugas dalam situasi tertentu yang memiliki sebuah tujuan bersama.
Dari tiga mitos itu saja, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa dibutuhkan kerjasama antara terapis dan klien dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sedangkan dalam hipnosis panggung hanya dibutuhkan kerja bersama antara hipnotis dan suyetnya. Soal tujuan mereka berbeda, itu tak jadi masalah.
Maka sebelum melakukan sesi terapi, biasanya saya akan menanyakan 3 pertanyaan, sbb:
-Apakah Anda bersedia dibantu dan bersedia bekerja sama?
-Apakah Anda percaya saya?
-Apakah Anda bisa dipercaya?
4. Mudah vs Sulit
Sebagai praktisi hipnosis, Anda juga pasti sudah sangat menguasai teknik sugestivitas yang akan melakukan pengelompokan calon suyet, antara mudah, moderat atau sulit. Dalam kelas-kelas Fundamental Hypnosis, saya bahkan memberikan porsi lebih pada sesi tes sugestivitas ini sembari memberi pesan kepada para peserta untuk TIDAK melakukan aksi hipnosis tanpa melakukan tes ini terlebih dahulu! Alasannya sudah sangat jelas, aksi hipnosis panggung hanya cocok untuk suyet dengan tipe sugestivitas tingkat tinggi, alias suyet yang mudah menerima sugesti.
Bagaimana dengan urusan terapi? Tentu kita tidak bisa memasang papan pengumuman sbb,
"Menerima klien dengan gangguan pikiran, perasaan dan perilaku, seperti depresi, kecemasan, kebiasaan buruk, dll. PS: Hanya menerima klien yang mudah disugesti!"
Sebagai terapis, kita mesti mampu melakukan proses hipnosis kepada semua tipe klien. Oleh karena itu kita menggunakan tes sugestivitas sebagai sarana untuk menentukan strategi induksi dan teknik terapeutiknya.
5. Settingan vs Kenyataan
Sahabat pembelajar yang berbahagia, meskipun saya tidak rutin menjadi pembicara di stasiun TV, namun saya pernah diundang untuk mengisi acara di TV. Kebetulan saya juga punya sahabat yang bekerja di stasiun TV. Dari pengamatan saya serta informasi dari sahabat saya tadi, semua program yang ditayangkan di TV adalah sebuah rekayasa. Saya tidak menyebut rekayasa sebagai sebuah kebohongan, namun semua program tadi sudah diatur sedemikian sehingga mengikuti standar dari stasiun TV bersangkutan.
Jangankan acara hiburan, pidato kenegaraan saja memiliki floor manager, yang akan mengatur angle kamera, timing, serta slot tayangnya.
Berbekal dari informasi ini, maka bisa disimpulkan bahwa semua acara hipnosis panggung yang ditayangkan di TV merupakan sebuah rekayasa hiburan, alias settingan, yang tidak bisa dijadikan patokan sebagai sebuah teknik terapi.
Dibutuhkan pelatihan tersendiri dengan durasi praktek yang cukup, barulah seorang praktisi hipnosis bisa melakukan terapi terhadap klien sehingga mereka berhasil menemukan kenyataan yang mereka inginkan, bukan sekedar settingan kenyataan.
7. Hiburan vs Pemberdayaan
Dalam kelas-kelas Fundamental Hypnosis, saya selalu berpesan kepada para peserta untuk memberikan pemberdayaan kepada klien ketika melakukan sesi emerging atau terminasi. Inti dari sesi ini adalah mengembalikan gelombang pikiran suyet dari alfa menuju beta.
Menurut Aristoteles, pada dasarnya semua orang adalah cerdas, lingkungan mereka saja yang kadang membuat mereka menjadi tidak cerdas. Maka ketika membawa seorang suyet kembali kepada kesadaran semula (gelombang beta), sebaiknya kita justru mengembalikan mereka pada kondisi dasarnya, yaitu cerdas.
Meskipun saya yakin para hipnotis panggung tersebut dulunya juga mendapatkan pembelajaran yang sama, namun coba perhatikan dalam aksi panggungnya, mereka akan menampilkan sebagai diri yang berkuasa, bahkan kerapkali melupakan empowering pada suyet ketika melakukan terminasi.
Maka jika ingin menjadi terapis yang profesional, ingatlah untuk selalu melakukan pemberdayaan diri kepada klien Anda, baik di akhir sesi maupun pada setiap melakukan terminasi. Anda tidak perlu terlalu jauh memikirkan teknik rumit pemberdayaan diri klien ini, lakukan saja cara yang paling sederhana, yaitu dengan memberikan feedback setiap kali sebuah sesi selesai dilakukan.
Sebuah feedback akan memberdayakan diri klien jika disampaikan dengan urutan sbb:
1. What went well
Berikan dulu pujian atas segala sesuatu yang telah berjalan dengan baik. Dan lakukanlah dengan tulus serta sebutkan topiknya
Contoh:
“Bagus sekali Pak, terimakasih ya Pak, Bapak sudah bersedia untuk memulai jalan pagi sejak minggu kemarin”
2. Room for Improvement
Jika ada yang hal ingin diperbaiki, gunakan kata hubung DAN, bukan TAPI.
Ingatlah bahwa kata tapi akan menghapus semua statemen sebelumnya.
Contoh:
“Dan menurut saya akan lebih baik lagi jika kopinya juga mulai dikurangi”
Akan berbeda maknanya jika Anda menggunakan kata TAPI, sbb:
“Tapi menurut saya akan lebih baik lagi jika kopinya juga mulai dikurangi”
Pujian dan ketulusan Anda sebagai terapis menjadi hilang, dan itu artinya rusaklah sesi empowerment Anda.
Sahabat pembelajar yang berbahagia, demikian kiranya perbedaan mendasar antara konsep hipnosis dan hipnoterapis yang bisa saya ceritakan, minimal menurut pemahaman dan pengalaman saya. Maka, pesan saya bagi Anda yang tertarik menjalani profesi sebagai terapis, bisa lebih mendalaminya dengan mengikuti kelas Advance Hypnotherapy, atau minimal Anda bisa membaca buku saya yang berjudul 'The Indonesian Encyclopedia of Hypnotherapy'.