Suatu hari, selepas shalat jumat, saya berdoa, "Ya Allah cukupkanlah rejeki kami. Berikan berkah pada keluarga kami dan selamatkan kami dari api neraka"
Rupanya doa lirih tadi didengar oleh bos saya yang kebetulan berada di samping saya. Dan saat makan siang, bos saya tadi nyeletuk ringan dengan bercanda, "Mas Hade merasa gak kalau rejekinya pas-pasan saja?"
Dengan bercanda pula saya menjawab, "Iya Pak, pas saya butuhkan rejeki itu pas datang, hehehe"
"Kali ini serius, meski rejeki itu datang pas dibutuhkan, tapi selalu pas saja khan? Tidak berlebih?", tanya bos saya lagi
"Nggg, betul juga sih Pak. Kok Bapak bisa tahu sih?
"Nah, Anda tahu gak penyebabnya?"
"Apa dong Pak?
"Karena Anda memang hanya menginginkan rejeki yang pas-pasan saja. Tak sengaja tadi saya mendengar doa Anda, yang minta rejekinya dicukupkan saja!"
"Jadi doa saya salah ya?"
"Tidak salah, namun ingatlah bahwa Allah berlaku seperti yang hambaNya prasangkakan. Karena kita minta rejeki cukup, ya dicukupkan saja!"
"Jadi, bagaimana semestinya Pak?
"Ya sederhana saja. Ganti gantilah kata cukupkanlah dengan lapangkanlah!"
Jleb, bagaimana bisa saya yang sudah menjadi praktisi NLP bertahun-tahun justru alpa dalam mengaplikasikan teorinya ketika melakukan komunikasi dengan Sang Pencipta!
Sahabat pembelajar yang berbahagia, peristiwa tersebut terjadi sudah bertahun silam, ketika saya masih menjadi karyawan di sebuah perusahaan farmasi multinasional. Waktu itu saya baru mengaplikasikan NLP dalam pekerjaan saya sebagai manager. Saya menggunakan teori dan teknik-teknik NLP sebatas pada coaching, leadership dan selling. Saya justru melupakan esensi terdalam diciptakannya NLP, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Untuk CHANGE.
Seolah tersadar dari mimpi panjang, saya segera menyusun ulang WFO (Well Formed Outcome) saya yang pada ujung pencariannya membuat diri saya melepas 'label' karyawan. Ya, setelah menelisik ulang semua teori yang telah saya pelajari dan menengok ke belakang, di mana saya memang hanya 'jalan di tempat' maka saya mulai membenahi misi hidup saya.
Salah satu 'item' yang kemudian saya koreksi total adalah definisi tangan di bawah, menjadi tangan di atas. Ketika masih menjadi karyawan, bisa dikatakan rejeki saya bergantung pada tanggal 25, dengan jumlah yang sudah pasti.
Saya kemudian mengingat kembali pesan salah satu guru saya mengenai definisi bekerja. Jika kebanyakan orang mengatakan bahwa bekerja adalah mengejar rejeki, guru saya tersebut mengatakan bahwa setiap apa yang dikejar maka akan berlari. Benar juga pesan beliau. Bahkan ketika kemudian saya ganti definisi tersebut dengan dikejar rejeki, retorika pemikiran tersebut masih berlaku. Jika pemikiran pertama rejekinya yang akan berlari, pemikiran kedua, sayanya yang berlari. Jika terus demikian, kapan saya dan rejeki akan bertemu!
Dalam NLP ada satu pakem pola pikir yang disebut human model of the world, atau model pikiran manusia menghadapi dunia nyata. Dalam framework ini dijelaskan bahwa proses terjadinya sebuah belief, bahkan destiny merupakan sebuah urutan pasti.
Kita menerima informasi dari luar melalui panca indera. Kita melihat, mendengar dan merasa segala informasi yang kemudian setelah difilter akan menjadi belief kita. Belief menggerakkan state (atau emotion), state menggerakkan perilaku. Perilaku yang diulang akan menjadi attitude. Sikap kita akan mempengaruhi budaya kita dan akhirnya berbuah menjadi nasib.
Nah, berarti nasib seseorang dipengaruhi oleh beliefnya dong? Maka benar kata guru saya tadi, jika saya meyakini bahwa diri saya dan rejeki hanya bersikejar saja, maka nasib saya juga hanya jalan di tempat.
Sahabat pembelajar yang berbahagia, mungkin Anda juga pernah mendengar idiom mencari sesuap nasi sebagai penghalus mencari rejeki? Seorang suami berpamitan kepada istrinya, sambil berucap mesra, "Ma, Papa keluar rumah dulu ya. Mau berikhtiar mencari sesuap nasi"
Atau seorang anak berpamitan kepada ibundanya, "Bunda, doakan ananda ya, semoga lancar ketika mencari sesuap nasi"
Tentu saja sang istri atau ibunda dengan tulus ikhlas mendoakan. Dalam bukunya 7 keajaiban rejeki, Ipho Santosa menyebutkan bahwa keajaiban pertama adalah sepasang bidadari. Jika sepasang bidadari ini mendoakan dengan ikhlas, maka pintu langitpun akan terbuka. Siapakah mereka? Istri dan Ibunda!
Dan luarbiasanya sepasang bidadari itu ikhlas ketika Anda mencari sesuap nasi. Maka yang Anda bawa pulang pun hanyalah sesuap nasi belaka!
Berpegang pada pemahaman-pemahaman baru tersebut, maka pada tahun 2015 saya memantapkan dan memantaskan diri untuk memperoleh rejeki lebih banyak. Saya tidak lagi mengejar atau dikejar rejeki, namun saya niatkan untuk 'menjemput rejeki'.
Yang namanya menjemput itu memiliki 3 prinsip:
- Sudah mengenal apa yang mau dijemput
- Sudah tahu lokasinya
- Sudah tahu cara menuju lokasinya
Doa saya juga saya ubah, "Yaa Allah lapangkanlah rejeki kami, dan ijinkanlah kami menjemput rejeki yang Engkau ridhoi. Berikan berkah pada keluarga kami dan selamatkan kami dari api neraka. Hanya kepada Mu kami berdoa dan memohon pertolongan. Aamiin"
Alhamdulillah semenjak saat itu terjadi perubahan dalam peruntungan saya. Tanpa ingin menyombongkan diri, jika dulu untuk mendapatkan gaji senior manager (saya tidak akan sebut angkanya) dibutuhkan waktu satu bulan. Semenjak full menjadi public speaker, cukup dibutuhkan waktu satu atau dua hari sahaja.
Memang betul semua duit itu tidak akan kita bawa mati, tapi kata istri saya kalau nggak ada duit, rasanya mau mati. Wkwkwk
Semoga bermanfaat