Kisah di bawah ini masih berhubungan dengan kamp konsentrasi NAZI. Eranya sedikit di depan Viktor Frankl menghuni Auschwitz.
Diceritakan ada seorang pastor yang bernama Maximilianus Kolbe yang memiliki kepedulian yang sangat besar kepada sesama.
Maximilianus membangun sebuah biara besar di Polandia. Biara tersebut dinamainya 'Kota Immaculata'. Pada tahun 1938, Nazi menyerbu kota tersebut. Mereka menghentikan karya mengagumkan yang berlangsung di sana. Pada tahun 1941, Nazi menangkap Maximillianus Kolbe. Mereka menjatuhkan hukuman kerja paksa di Auschwitz, salah satu kamp konsentrasi NAZI yang sangat mengerikan.
Di kamp ini berlaku hukuman mati berupa bunker kelaparan yang berbentuk kubus baja tanpa atap. Jika musim panas suhunya akan sangat menyengat, sebaliknya jika musim dingin, suhu di dalamnya mampu membekukan tulang penghuninya. Penjaga di kamp tersebut memberlakukan sebuah hukum yang efektif namun kejam, jika ada tahanan yang melarikan diri maka dia tidak akan dicari. Sebagai konsekuensinya, akan diseret secara acak 10 tahanan lain untuk dijebloskan ke dalam bunker kelaparan. Dengan sistem ini maka para tahanan akan saling menggagalkan usaha pelarian kawan satu selnya.
Maximillianus telah berada di Kamp Konsentrasi Auschwitz selama tiga bulan ketika seorang tahanan berhasil melarikan diri. Para penjaga kemudian mencari 10 tahanan lain secara acak menghukum tahanan yang tersisa untuk dihukum mati dalam bunker kelaparan.
Seluruh tahanan berdiri tegang sementara sepuluh orang ditarik keluar dari barisan. Seorang tahanan bernama Franciszek Gajowniczek terpilih, ia adalah pria yang telah menikah dan mempunyai keluarga. Franciszek kemudian merengek serta memohon dengan sangat agar diampuni demi anak-anaknya namun para Nazi tidak peduli.
Maximillianus Kolbe, yang tidak terpilih, mendengarnya dan hatinya tergerak oleh belas kasihan untuk menolong Franciszek. Ia maju ke depan dan bertanya kepada komandan NAZI apakah ia dapat menggantikan Franciszek. Sang komandan setuju dengan permintaannya.
Kolbe dan sembilan tahanan yang lain digiring masuk ke dalam bunker kelaparan. Mereka tetap hidup tanpa makanan atau pun air selama beberapa hari. Satu per satu tahanan tersebut mati kelaparan, dan Kolbe berusaha untuk menolong serta menghibur mereka. Beberapa hari kemudian, saat pintu bunker dibuka semua tahanan sudah meninggal kecuali Maximillianus Kolbe. Para Nazi kemudian memberikannya suatu suntikan carbolic acid untuk mempercepat kematiannya pada tanggal 14 Agustus 1941.
Maximillianus Maria Kolbe dinyatakan sebagai seorang kudus dan martir cinta kasih oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982.
Menurut pengakuan salah satu penjaga, selama berada di dalam bunker, mulut Kobe senantiasa mengucapkan kalimat sbb:
"Demi cinta saya kepada mahluk-Mu ya Tuhan, saya menerima perlakuan ini.
Mereka bisa menyiksa tubuh saya, tapi mereka tidak akan bisa menyiksa hati dan pikiran saya. Oleh karena itu saya serahkan hidup dan mati saya kepada-Mu"
Meskipun Kolbe tidak mengenal Frankl, namun terdapat kemiripan prinsip mereka dalam mensikapi penderitaan, seperti perkataan Frankl dalam bukunya Man's Search for Meaning:
"Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia – kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.”
"Kita tidak dapat menghindari penderitaan, tetapi kita dapat memilih cara mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan melangkah maju dengan tujuan baru.”
Santo Maximilianus Kolbe mengajarkan kita banyak hal, tetapi satu yang paling berkesan adalah kekuatan harapannya. Sebuah harapan yang membuat dia bisa terus maju ke depan walaupun sedang menghadapi sebuah tantangan maut. Alih-alih merengek dan berputus asa seperti tahanan lain, dia malah berserah kepada tuhannya.
Santo Maximilianus juga memberikan contoh agar kita tidak berpikir bahwa tragedi hidup kita hanyalah kebetulan saja. Ia memberi contoh bahwa seburuk apapun hal yang terjadi pada kita, semua itu adalah cara Tuhan untuk memberi kita kebahagian abadi. Kembali kita menemukan pengejawantahan rasa cinta dan syukur dalam kisah ini. Dan terbukti dua rasa di atas selalu mampu membebaskan manusia dari penderitaan duniawi.
Semoga bermanfaat
Sumber: wikipedia